Subhanallah! Nama Yerussalem Dalam Al-Qur'an 70 Kali Disebutkan
Blog Khusus Doa - Yerusalem, nama itu terus bergema di hati sebagian umat Kristen, Yahudi dan Muslim, semenjak berabad-abad sengketa berdarah dan sejarah bersama. Dalam bahasa Ibrani disebut Yerushalayim dan dalam bahasa Arab disebut al-Quds, Yerusalem merupakan salah satu kota tertua di dunia. Di masa lalu, kota ini pernah berulang kali direbut, ditaklukan, dihancurkan dan dibangun kembali oleh banyak sekali pihak, dan seakan setiap lapisan buminya mengungkapkan banyak sekali potongan sejarah masa lalu.
Permukiman pertama di sana diduga berasal dari masa empat ribu tahun sebelum Masehi. Dalam pandangan Islam, Yerusalem mendapat posisi yang istimewa. Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Isa, misalnya, pernah mendiami kota tersebut dan membuatkan anutan tauhid. Selain itu, kiblat pertama umat Islam, Masjid al-Aqsha, terletak di Yerusalem. Termasuk di dalamnya yaitu Qubbat ash-Shakhrah (Dome of the Rock), yang diyakini sebagai tempat Nabi Muhammad SAW berpijak sebelum Allah memberangkatkannya ke Sidratul Muntaha. Alquran surat al-Isra ayat kesatu mengabadikan perjalanan Isra-Miraj Rasulullah SAW ini dengan secara eksplisit menyebutkan nama Masjid al-Aqsha (harfiah: masjid yang terjauh).
Dilansir dari laman republika, Abdallah el-Khatib dalam artikelnya, Jerusalem in the Alquran (British Journal of Middle Eastern Studies, Mei 2001) menjelaskan bahwa di dalam Alquran nama Yerusalem 70 kali disebutkan, baik secara eksplisit maupun implisit. Semua itu tersebar dalam 21 surat. Di antaranya termasuk sebutan Tanah Suci (al-ardha al-muqoddasat), Tanah yang Diberkati, dan Kota yang Diberkati. Misalnya, pada surat al-Maidah ayat 21, surat al-Araf ayat 137, surat al-Anbiya ayat 71 dan ayat 81, serta surat Saba ayat 18.
Dalam perspektif Islam pula, sejarah Yerusalem sanggup ditarik dari insiden keluarnya Bani Israil dari Mesir di bawah pimpinan Nabi Musa. Alquran surat al-Maidah, misalnya, mengisahkan bagaimana Bani Israil menolak perintah Allah untuk berjuang merebut Yerusalem. Bahkan, secara kurang asuh mereka berkata, sebagaimana diabadikan dalam surat al-Maidah ayat 24 yang artinya: Pergilah kau (Nabi Musa) bersama Tuhanmu, dan berperanglah kau berdua, bahwasanya kami hanya duduk menanti disini saja.
Akhirnya, Allah mentakdirkan Bani Israil tidak sanggup memasuki Yerusalem hingga munculnya Nabi Yusya bin Nun. Di bawah komandonya, Bani Israel bangun berjuang melawan bangsa Filistin untuk merebut Yerusalem, meskipun tidak sepenuhnya berhasil. Barulah sekitar seribu tahun sebelum Masehi, balatentara Bani Israil kembali angkat senjata. Kali ini, bangsa Filistin dipimpin Jalut, sedangkan Bani Israel dikomandoi Thalut.
Saat itu, Nabi Daud yang masih berusia muda tampil sebagai pendekar alasannya yaitu berhasil menumbangkan Jalut. Setelah pemimpin Thalut meninggal dunia, Nabi Daud menjadi penggantinya. Dalam masa kepemimpinan Nabi Daud, Bani Israil mulai membangun Baitul Maqdis sebagai sentra peribadatan. Selanjutnya, putranya yang juga utusan Allah, Nabi Sulaiman, menyempurnakan pembangunan rumah suci itu. Baitul Maqdis ini merupakan cikal bakal Masjid al-Aqsha yang kita kenal sekarang.
Namun, kaum Yahudi memandang cukup berbeda bangunan yang dibina Nabi Sulaiman di Yerusalem itu. Mereka menamakannya Kuil Solomon. Dalam catatan sejarah, Kuil Solomon selesai dibangun pada 950 tahun sebelum Masehi (SM). Sepeninggalan Nabi Sulaiman, kerajaan Bani Israel ini pecah sehingga menjadi rentan terhadap serangan dari luar. Puncaknya, pada 587 SM Raja Babilonia Nebuchadnezzar menyerbu Yerusalem dan menghancurkan Kuil Solomon. Hampir seluruh Bani Israil digiring ke Babilonia untuk menjadi budak.
Nasib baik gres tiba pada 539 SM. Pendiri Kekaisaran Persia, Koresh yang Agung, mengalahkan Kerajaan Babilonia. Kaisar Persia itu membebaskan Bani Israil dari kehinaan dan bahkan mengizinkan mereka kembali ke Yerusalem. Bani Israil lantas membangun kembali Kuil Sulaiman di bawah pimpinan Sheshbazzara. Inilah yang sering disebut sebagai Kuil Kedua. Bangunan ini bertahan cukup usang yakni dalam periode 516 SM hingga tahun 70 M.
Kehancuran Kuil Kedua terjadi dilatari dengan insiden sosial-politik. Sejak 63 tahun SM, wilayah Yerusalem dikendalikan Imperium Roma. Pada tahun 66, kaum Yahudi memberontak terhadap penguasa Roma. Pemberontakan ini dijawab dengan serbuan Kaisar Titus empat tahun kemudian atas Yerusalem. Kuil Kedua pun dihancurkan untuk mengatakan dominasi Roma. Sampai tahun 135, kaum Yahudi hidup dalam kesulitan alasannya yaitu Imperium Roma lebih mendukung paganisme dengan, umpamanya, mendirikan kuil berhala di Yerusalem.
Namun, anutan Nabi Isa telah menyebar ke luar daerah Yerusalem semenjak kurun pertama Masehi. Para pengikut Nabi Isa kerap diburu penguasa Roma dan bahkan disiksa, umpamanya, dengan menjadikannya umpan singa di gelanggang Colosseum. Nasib baik menghampiri kaum Nasrani pada kurun ketiga. Kaisar Konstantin I mendeklarasikan dukungannya terhadap anutan Kristen.
Dengan demikian, status Yerusalem kembali dipulihkan sebagai kota yang dihormati penguasa. Salah satu warisan kaisar tersebut yaitu Gereja Makam Suci (The Church of the Holy Sepulchre). Menurut kepercayaan Kristen, di sanalah lokasi Yesus disalib dan jasadnya sempat dimakamkan, untuk kemudian diyakini kosong alasannya yaitu Yesus bangun kembali.
Sampai kurun ketujuh, setidaknya ada tiga insiden besar yang berlangsung di Yerusalem. Pertama, serbuan tentara Persia (Sasanid) pada 614 yang berakibat pembantaian atas 60 ribu orang Nasrani di Yerusalem. Lebih dari 30 ribu orang Nasrani lainnya dibawa ke Persia untuk menjadi budak. Bangunan peribadatan Nasrani di Yerusalem pun ikut diluluh-lantakkan.
Kedua, Kaisar Romawi Timur Heraclius kembali menguasai Yerusalem pada 629. Kali ini, orang-orang Yahudi menjadi target untuk dibunuh. Sementara itu, Heraclius juga memulihkan kembali hegemoni Dunia Nasrani atas Yerusalem sepeninggalan kekuatan Persia di sana. Saat dua insiden besar itu berlangsung, Islam mulai mengukuhkan pengaruhnya di Semenanjung Arab, khususnya sehabis Penaklukan Makkah terjadi pada 630.
Ketiga, pembebasan Yerusalem oleh umat Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khaththab. Di masa khalifah kedua itu, baik kekaisaran Persia maupun Romawi Timur sedang mengalami degradasi. Sementara, umat Islam sedang bersemangat membuatkan anutan Rasulullah SAW ke luar Arab, antara lain, dengan jalan penaklukan. Pada 20 Agustus 636, tentara Muslim menang melawan pasukan Romawi Timur di Perang Yarmuk. Pada Juli 637, kaum Muslim berhasil mengepung Yerusalem.
Seperti digambarkan Karen Armstrong dalam bukunya, Jerusalem: One City Three Faiths, Khalifah Umar mendengar kabar perihal perilaku keras pemuka Nasrani Yerusalem, Sophronius. Dia menginginkan biar kunci gerbang Yerusalem diserahkan kepada Umar langsung, alih-alih pemimpin militer lapangan. Maka, datanglah Khalifah Umar ke sana, sedangkan Sophronius dan bawahannya telah menyiapkan gelaran upacara yang terkesan glamor demi menghormati Umar.
Begitu melihat kedatangan Umar, Sophronius dan kaum Nasrani setempat terheran-heran. Pasalnya, sang khalifah tampil dengan busana yang biasa dikenakannya di Madinah: baju dengan materi kain kasar, selayaknya rakyat miskin. Bagi Karen, agaknya para pemuka Nasrani Yerusalem merasa tersentuh, betapa pemimpin Muslim itu lebih menghayati anutan Yesus perihal tenggang rasa kepada kaum papa ketimbang mereka.
Umar juga mengatakan pentingnya gagasan welas asih lebih dari siapapun penakluk Yerusalem sebelumnya, mungkin selain Nabi Daud. Dia (Umar bin Khaththab) menerapkan penaklukan yang paling hening dan paling tanpa pertumpahan darah sepanjang sejarah panjang kota itu (Yerusalem) yang penuh kesedihan dan tragedi, tulis Karen Armstrong lagi.
Khalifah Umar juga menolak berdoa (shalat) di dalam gereja. Alasannya disampaikan kepada Sophronius. Umar tidak ingin gereja itu kemudian diubah oleh tentara Muslim menjadi masjid hanya alasannya yaitu pemimpinnya pernah berdoa di sana. Umar juga peka terhadap kaum Yahudi. Sejarah mencatat, selama kuatnya dominasi Romawi Timur di Yerusalem, kaum Nasrani setempat mengakibatkan sisa bangunan Kuil Kedua yang dihancurkan Persia sebagai tempat sampah. Ini tentunya menyakiti perasaan kaum Yahudi.
Begitu melihat penampakan bangunan itu, Khalifah Umar untuk sesaat terkejut. Namun, menyerupai dituturkan sejarawan Mujir al-Din, Umar kemudian mengambil beberapa kerikil yang menimbun bekas Kuil Kedua itu. Tindakan Umar ini segera diikuti seluruh pasukan Muslim. Beberapa ketika kemudian, situs tersebut tampak lebih higienis dari semula.
Umar sebagaimana seluruh kaum Muslim pada ketika itu memahami benar signifikansi Yerusalem bagi tiga umat yang mengakui kenabian Ibrahim AS. Hanya saja, berbeda daripada penguasa Nasrani maupun Yahudi yang saling mendiskreditkan satu sama lain, Khalifah Umar berupaya mengakibatkan Yerusalem sebagai rumah yang terbuka untuk kaum Muslim, kaum Kristen, dan kaum Yahudi.
Khalifah Umar selanjutnya memanggil Kaab bin Ahbar, seorang Muslim yang dahulunya beragama Yahudi untuk dimintai pendapatnya. Sahabat Nabi SAW bergelar al-Faruq ini ingin memastikan lokasi situs-situs di Yerusalem yang bersejarah dalam perspektif Yahudi. Sang khalifah juga mengajak para pemuka Yahudi dari Tiberia untuk ikut merestorasi daerah Yerusalem. Bahkan, al-Faruq membolehkan 70 keluarga Yahudi Tiberia untuk menetap di Yerusalem. Menurut Karen Armstrong, gres di zaman Umar inilah kaum Yahudi melihat adanya keinginan untuk hidup hening di Yerusalem.
Sejarah mencatat, tidak ada satu pun orang Nasrani atau orang Yahudi kala penaklukan itu dipaksa memeluk Islam. Alih-alih pemaksaan, Khalifah Umar memerintahkan biar orang-orang taklukan diberikan proteksi dan keamanan, baik atas diri maupun harta benda mereka. Selain itu, tentara Muslim juga dihentikan menghalangi akses ke setiap gereja. Gubernur Yerusalem dihentikan keras menyakiti orang-orang non-Muslim (kafir dzimmi). Lantaran hukum yang ketat tetapi penuh toleransi ini, tulis Karen Armstrong, kaum Nasrani dari Nestorian dan Monofisit bahkan lebih menyukai Yerusalem di bawah kekuasaan Muslim, alih-alih Romawi Timur dahulu.
Setelah masa Khulafaur Rasyidin, kedamaian relatif masih menaungi Yerusalem. Pada 687, khalifah dari Dinasti Umayyah, Abdul Malik, memulai pembangunan Qubbat ash-Shakhrah (Dome of the Rock) di lokasi sebuah kerikil besar yang diyakini tempat berpijaknya Nabi Muhammad SAW sebelum menjalani Miraj ke Sidratul Muntaha. Bagaimanapun, sang khalifah juga menghendaki Qubbat ash-Shakhrah sebagai daya tarik para peziarah yang tiba dari pelbagai penjuru dunia ke Yerusalem.
Empat tahun kemudian, kompleks ini selesai dibangun. Demikianlah, hingga tutup era kurun ketujuh Masehi, dunia menyaksikan Yerusalem yang relatif tenteram kalau dibandingkan masa-masa sebelumnya. Islam terbukti hadir dengan membawa toleransi yang penuh penghormatan terhadap kepercayaan-kepercayaan lain.
Situasi tersebut tidak bertahan selamanya. Memasuki kurun ke-11, orang-orang Turki Seljuk menguasai Yerusalem dan melarang peziarah Nasrani untuk memasukinya. Pada 1096, sekitar 100 ribu pasukan Salib tiba ke Yerusalem untuk merebut kekuasaan. Bukan hanya kaum Muslim, bahkan sesama Nasrani (Timur) pun menjadi korban kebiadabannya. Ketika petinggi Tentara Salib berhasil menguasai Yerusalem, kaum Yahudi dan kaum Muslim mengalami kesulitan untuk beribadah di sana. Keadaan relatif tenang untuk tiga umat agama ketika Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dan Richard the Lion-Hearted menyepakati gencatan senjata pada 1192.
Sampai pertengahan kurun ke-16, Yerusalem pada umumnya dikuasai sejumlah kesultanan Islam. Situasi pun sanggup dikatakan berimbang. Bahkan, selanjutnya pada 1816 penguasa Muslim mengizinkan kaum Yahudi untuk masuk lebih leluasa ke Yerusalem. Dampaknya, populasi Yahudi kian meningkat pesat semenjak ketika itu. Pada final kurun ke-19, pergerakan Zionisme yang digagas Theodore Herzl semakin pesat, sedangkan kesultanan Turki yang menguasai Yerusalem cenderung melemah. Puncaknya, dominasi penguasa Muslim atas Yerusalem runtuh pada 1917 atau 20 tahun sehabis Kongres Zionis Sedunia yang pertama di Basel, Swiss. Turki mengalah terhadap Inggris Raya. Sementara itu, Dunia Arab terpecah-belah ke dalam banyak negara atas sokongan Barat.
Permukiman pertama di sana diduga berasal dari masa empat ribu tahun sebelum Masehi. Dalam pandangan Islam, Yerusalem mendapat posisi yang istimewa. Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Isa, misalnya, pernah mendiami kota tersebut dan membuatkan anutan tauhid. Selain itu, kiblat pertama umat Islam, Masjid al-Aqsha, terletak di Yerusalem. Termasuk di dalamnya yaitu Qubbat ash-Shakhrah (Dome of the Rock), yang diyakini sebagai tempat Nabi Muhammad SAW berpijak sebelum Allah memberangkatkannya ke Sidratul Muntaha. Alquran surat al-Isra ayat kesatu mengabadikan perjalanan Isra-Miraj Rasulullah SAW ini dengan secara eksplisit menyebutkan nama Masjid al-Aqsha (harfiah: masjid yang terjauh).
Dilansir dari laman republika, Abdallah el-Khatib dalam artikelnya, Jerusalem in the Alquran (British Journal of Middle Eastern Studies, Mei 2001) menjelaskan bahwa di dalam Alquran nama Yerusalem 70 kali disebutkan, baik secara eksplisit maupun implisit. Semua itu tersebar dalam 21 surat. Di antaranya termasuk sebutan Tanah Suci (al-ardha al-muqoddasat), Tanah yang Diberkati, dan Kota yang Diberkati. Misalnya, pada surat al-Maidah ayat 21, surat al-Araf ayat 137, surat al-Anbiya ayat 71 dan ayat 81, serta surat Saba ayat 18.
Dalam perspektif Islam pula, sejarah Yerusalem sanggup ditarik dari insiden keluarnya Bani Israil dari Mesir di bawah pimpinan Nabi Musa. Alquran surat al-Maidah, misalnya, mengisahkan bagaimana Bani Israil menolak perintah Allah untuk berjuang merebut Yerusalem. Bahkan, secara kurang asuh mereka berkata, sebagaimana diabadikan dalam surat al-Maidah ayat 24 yang artinya: Pergilah kau (Nabi Musa) bersama Tuhanmu, dan berperanglah kau berdua, bahwasanya kami hanya duduk menanti disini saja.
Akhirnya, Allah mentakdirkan Bani Israil tidak sanggup memasuki Yerusalem hingga munculnya Nabi Yusya bin Nun. Di bawah komandonya, Bani Israel bangun berjuang melawan bangsa Filistin untuk merebut Yerusalem, meskipun tidak sepenuhnya berhasil. Barulah sekitar seribu tahun sebelum Masehi, balatentara Bani Israil kembali angkat senjata. Kali ini, bangsa Filistin dipimpin Jalut, sedangkan Bani Israel dikomandoi Thalut.
Saat itu, Nabi Daud yang masih berusia muda tampil sebagai pendekar alasannya yaitu berhasil menumbangkan Jalut. Setelah pemimpin Thalut meninggal dunia, Nabi Daud menjadi penggantinya. Dalam masa kepemimpinan Nabi Daud, Bani Israil mulai membangun Baitul Maqdis sebagai sentra peribadatan. Selanjutnya, putranya yang juga utusan Allah, Nabi Sulaiman, menyempurnakan pembangunan rumah suci itu. Baitul Maqdis ini merupakan cikal bakal Masjid al-Aqsha yang kita kenal sekarang.
Namun, kaum Yahudi memandang cukup berbeda bangunan yang dibina Nabi Sulaiman di Yerusalem itu. Mereka menamakannya Kuil Solomon. Dalam catatan sejarah, Kuil Solomon selesai dibangun pada 950 tahun sebelum Masehi (SM). Sepeninggalan Nabi Sulaiman, kerajaan Bani Israel ini pecah sehingga menjadi rentan terhadap serangan dari luar. Puncaknya, pada 587 SM Raja Babilonia Nebuchadnezzar menyerbu Yerusalem dan menghancurkan Kuil Solomon. Hampir seluruh Bani Israil digiring ke Babilonia untuk menjadi budak.
Nasib baik gres tiba pada 539 SM. Pendiri Kekaisaran Persia, Koresh yang Agung, mengalahkan Kerajaan Babilonia. Kaisar Persia itu membebaskan Bani Israil dari kehinaan dan bahkan mengizinkan mereka kembali ke Yerusalem. Bani Israil lantas membangun kembali Kuil Sulaiman di bawah pimpinan Sheshbazzara. Inilah yang sering disebut sebagai Kuil Kedua. Bangunan ini bertahan cukup usang yakni dalam periode 516 SM hingga tahun 70 M.
Kehancuran Kuil Kedua terjadi dilatari dengan insiden sosial-politik. Sejak 63 tahun SM, wilayah Yerusalem dikendalikan Imperium Roma. Pada tahun 66, kaum Yahudi memberontak terhadap penguasa Roma. Pemberontakan ini dijawab dengan serbuan Kaisar Titus empat tahun kemudian atas Yerusalem. Kuil Kedua pun dihancurkan untuk mengatakan dominasi Roma. Sampai tahun 135, kaum Yahudi hidup dalam kesulitan alasannya yaitu Imperium Roma lebih mendukung paganisme dengan, umpamanya, mendirikan kuil berhala di Yerusalem.
Namun, anutan Nabi Isa telah menyebar ke luar daerah Yerusalem semenjak kurun pertama Masehi. Para pengikut Nabi Isa kerap diburu penguasa Roma dan bahkan disiksa, umpamanya, dengan menjadikannya umpan singa di gelanggang Colosseum. Nasib baik menghampiri kaum Nasrani pada kurun ketiga. Kaisar Konstantin I mendeklarasikan dukungannya terhadap anutan Kristen.
Dengan demikian, status Yerusalem kembali dipulihkan sebagai kota yang dihormati penguasa. Salah satu warisan kaisar tersebut yaitu Gereja Makam Suci (The Church of the Holy Sepulchre). Menurut kepercayaan Kristen, di sanalah lokasi Yesus disalib dan jasadnya sempat dimakamkan, untuk kemudian diyakini kosong alasannya yaitu Yesus bangun kembali.
Sampai kurun ketujuh, setidaknya ada tiga insiden besar yang berlangsung di Yerusalem. Pertama, serbuan tentara Persia (Sasanid) pada 614 yang berakibat pembantaian atas 60 ribu orang Nasrani di Yerusalem. Lebih dari 30 ribu orang Nasrani lainnya dibawa ke Persia untuk menjadi budak. Bangunan peribadatan Nasrani di Yerusalem pun ikut diluluh-lantakkan.
Kedua, Kaisar Romawi Timur Heraclius kembali menguasai Yerusalem pada 629. Kali ini, orang-orang Yahudi menjadi target untuk dibunuh. Sementara itu, Heraclius juga memulihkan kembali hegemoni Dunia Nasrani atas Yerusalem sepeninggalan kekuatan Persia di sana. Saat dua insiden besar itu berlangsung, Islam mulai mengukuhkan pengaruhnya di Semenanjung Arab, khususnya sehabis Penaklukan Makkah terjadi pada 630.
Ketiga, pembebasan Yerusalem oleh umat Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khaththab. Di masa khalifah kedua itu, baik kekaisaran Persia maupun Romawi Timur sedang mengalami degradasi. Sementara, umat Islam sedang bersemangat membuatkan anutan Rasulullah SAW ke luar Arab, antara lain, dengan jalan penaklukan. Pada 20 Agustus 636, tentara Muslim menang melawan pasukan Romawi Timur di Perang Yarmuk. Pada Juli 637, kaum Muslim berhasil mengepung Yerusalem.
Seperti digambarkan Karen Armstrong dalam bukunya, Jerusalem: One City Three Faiths, Khalifah Umar mendengar kabar perihal perilaku keras pemuka Nasrani Yerusalem, Sophronius. Dia menginginkan biar kunci gerbang Yerusalem diserahkan kepada Umar langsung, alih-alih pemimpin militer lapangan. Maka, datanglah Khalifah Umar ke sana, sedangkan Sophronius dan bawahannya telah menyiapkan gelaran upacara yang terkesan glamor demi menghormati Umar.
Begitu melihat kedatangan Umar, Sophronius dan kaum Nasrani setempat terheran-heran. Pasalnya, sang khalifah tampil dengan busana yang biasa dikenakannya di Madinah: baju dengan materi kain kasar, selayaknya rakyat miskin. Bagi Karen, agaknya para pemuka Nasrani Yerusalem merasa tersentuh, betapa pemimpin Muslim itu lebih menghayati anutan Yesus perihal tenggang rasa kepada kaum papa ketimbang mereka.
Umar juga mengatakan pentingnya gagasan welas asih lebih dari siapapun penakluk Yerusalem sebelumnya, mungkin selain Nabi Daud. Dia (Umar bin Khaththab) menerapkan penaklukan yang paling hening dan paling tanpa pertumpahan darah sepanjang sejarah panjang kota itu (Yerusalem) yang penuh kesedihan dan tragedi, tulis Karen Armstrong lagi.
Khalifah Umar juga menolak berdoa (shalat) di dalam gereja. Alasannya disampaikan kepada Sophronius. Umar tidak ingin gereja itu kemudian diubah oleh tentara Muslim menjadi masjid hanya alasannya yaitu pemimpinnya pernah berdoa di sana. Umar juga peka terhadap kaum Yahudi. Sejarah mencatat, selama kuatnya dominasi Romawi Timur di Yerusalem, kaum Nasrani setempat mengakibatkan sisa bangunan Kuil Kedua yang dihancurkan Persia sebagai tempat sampah. Ini tentunya menyakiti perasaan kaum Yahudi.
Begitu melihat penampakan bangunan itu, Khalifah Umar untuk sesaat terkejut. Namun, menyerupai dituturkan sejarawan Mujir al-Din, Umar kemudian mengambil beberapa kerikil yang menimbun bekas Kuil Kedua itu. Tindakan Umar ini segera diikuti seluruh pasukan Muslim. Beberapa ketika kemudian, situs tersebut tampak lebih higienis dari semula.
Umar sebagaimana seluruh kaum Muslim pada ketika itu memahami benar signifikansi Yerusalem bagi tiga umat yang mengakui kenabian Ibrahim AS. Hanya saja, berbeda daripada penguasa Nasrani maupun Yahudi yang saling mendiskreditkan satu sama lain, Khalifah Umar berupaya mengakibatkan Yerusalem sebagai rumah yang terbuka untuk kaum Muslim, kaum Kristen, dan kaum Yahudi.
Khalifah Umar selanjutnya memanggil Kaab bin Ahbar, seorang Muslim yang dahulunya beragama Yahudi untuk dimintai pendapatnya. Sahabat Nabi SAW bergelar al-Faruq ini ingin memastikan lokasi situs-situs di Yerusalem yang bersejarah dalam perspektif Yahudi. Sang khalifah juga mengajak para pemuka Yahudi dari Tiberia untuk ikut merestorasi daerah Yerusalem. Bahkan, al-Faruq membolehkan 70 keluarga Yahudi Tiberia untuk menetap di Yerusalem. Menurut Karen Armstrong, gres di zaman Umar inilah kaum Yahudi melihat adanya keinginan untuk hidup hening di Yerusalem.
Sejarah mencatat, tidak ada satu pun orang Nasrani atau orang Yahudi kala penaklukan itu dipaksa memeluk Islam. Alih-alih pemaksaan, Khalifah Umar memerintahkan biar orang-orang taklukan diberikan proteksi dan keamanan, baik atas diri maupun harta benda mereka. Selain itu, tentara Muslim juga dihentikan menghalangi akses ke setiap gereja. Gubernur Yerusalem dihentikan keras menyakiti orang-orang non-Muslim (kafir dzimmi). Lantaran hukum yang ketat tetapi penuh toleransi ini, tulis Karen Armstrong, kaum Nasrani dari Nestorian dan Monofisit bahkan lebih menyukai Yerusalem di bawah kekuasaan Muslim, alih-alih Romawi Timur dahulu.
Setelah masa Khulafaur Rasyidin, kedamaian relatif masih menaungi Yerusalem. Pada 687, khalifah dari Dinasti Umayyah, Abdul Malik, memulai pembangunan Qubbat ash-Shakhrah (Dome of the Rock) di lokasi sebuah kerikil besar yang diyakini tempat berpijaknya Nabi Muhammad SAW sebelum menjalani Miraj ke Sidratul Muntaha. Bagaimanapun, sang khalifah juga menghendaki Qubbat ash-Shakhrah sebagai daya tarik para peziarah yang tiba dari pelbagai penjuru dunia ke Yerusalem.
Empat tahun kemudian, kompleks ini selesai dibangun. Demikianlah, hingga tutup era kurun ketujuh Masehi, dunia menyaksikan Yerusalem yang relatif tenteram kalau dibandingkan masa-masa sebelumnya. Islam terbukti hadir dengan membawa toleransi yang penuh penghormatan terhadap kepercayaan-kepercayaan lain.
Situasi tersebut tidak bertahan selamanya. Memasuki kurun ke-11, orang-orang Turki Seljuk menguasai Yerusalem dan melarang peziarah Nasrani untuk memasukinya. Pada 1096, sekitar 100 ribu pasukan Salib tiba ke Yerusalem untuk merebut kekuasaan. Bukan hanya kaum Muslim, bahkan sesama Nasrani (Timur) pun menjadi korban kebiadabannya. Ketika petinggi Tentara Salib berhasil menguasai Yerusalem, kaum Yahudi dan kaum Muslim mengalami kesulitan untuk beribadah di sana. Keadaan relatif tenang untuk tiga umat agama ketika Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dan Richard the Lion-Hearted menyepakati gencatan senjata pada 1192.
Sampai pertengahan kurun ke-16, Yerusalem pada umumnya dikuasai sejumlah kesultanan Islam. Situasi pun sanggup dikatakan berimbang. Bahkan, selanjutnya pada 1816 penguasa Muslim mengizinkan kaum Yahudi untuk masuk lebih leluasa ke Yerusalem. Dampaknya, populasi Yahudi kian meningkat pesat semenjak ketika itu. Pada final kurun ke-19, pergerakan Zionisme yang digagas Theodore Herzl semakin pesat, sedangkan kesultanan Turki yang menguasai Yerusalem cenderung melemah. Puncaknya, dominasi penguasa Muslim atas Yerusalem runtuh pada 1917 atau 20 tahun sehabis Kongres Zionis Sedunia yang pertama di Basel, Swiss. Turki mengalah terhadap Inggris Raya. Sementara itu, Dunia Arab terpecah-belah ke dalam banyak negara atas sokongan Barat.
Belum ada Komentar untuk "Subhanallah! Nama Yerussalem Dalam Al-Qur'an 70 Kali Disebutkan"
Posting Komentar