Surat Al-Maaidah 51 : Larangan Menentukan Pemimpin Non Muslim
- Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan salah satu pidato Gubernur DKI Jakarta di Kepulauan Seribu. Yang mana dalam pidato tersebut ahok menyampaikan "Masyarakat kepulauan tidak perlu takut kalau tidak ingin menentukan dia sebagai Gubernur untuk masa pemilihan ini, karena dibohongin 'PAKAI' surat Al-Maidah ayat 51, dan dibodoh-bodohin, ditakut-takutin masuk neraka. Tidak masalah, walaupun dirinya tidak terpilih, kegiatan ini akan tetap berjalan sebab sudah direncanakan untuk dijalankan pada bulan Februari 2017, sementara masa jabatannya berakhir 8 bulan kemudian. Soal menentukan itu kan soal hati nurani, silahkan saja, tidak perlu merasa tidak lezat untuk ikut menikmati kegiatan ini walau tidak pilih Ahok.". Sontak pidato ahok tersebut yang direkam dalam bentuk video beredar luas di internet pribadi menghebohkan dunia maya yang menimbulkan kontra, khususnya untuk kaum muslimin.
Berikut yakni suara Al-Qur'an surat al-Maaidah ayat 51
Dari ayat tersebut sudah terperinci diterangkan bahwa kita tidak boleh untuk menentukan orang Yahudi dan Kristen menjadi pemimpin. Lantas, pemimpin apakah yang tidak boleh dan/atau semua kepemimpinan yang dipimpin oleh Yahudi dan Kristen tidak boleh dalam Islam? Untuk lebih jelasnya, marilah kita bahu-membahu simak ulasan berikut ini perihal QS. Al-Maidah : 51 ibarat yang dijelaskan oleh Nadirsyah Hosen dalam situs fiqhmenjawab.net
Kata “awliya” dalam QS Al-Maaidah ayat 51 yang dijadikan alasan melarang mengangkat pemimpin kafir itu layak ditelaah kembali. Terjemahan Al-Qur’an depag menerjemahkannya sebagai “pemimpin”. Konteks asbabun nuzul dan bacaan saya terhadap tafsir klasik semisal al Thabary dan Ibn Katsir tidak menawarkan kata “awliya” dalam ayat di atas bermakna pemimpin, tapi semacam sekutu atau aliansi.
Penjelasan Tafsir Ibn Katsir mengenai asbabun nuzul QS Al-Maaidah ayat 51:
“Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai penyebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat yang mulia ini. As-Saddi menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang lelaki. Salah seorang dari keduanya berkata kepada lainnya setelah Perang Uhud, “Adapun saya, bergotong-royong saya akan pergi kepada si Yahudi itu, kemudian saya berlindung padanya dan ikut masuk agama Yahudi bersamanya, barangkali ia mempunyai kegunaan bagiku kalau terjadi suatu kasus atau suatu hal.” Sedangkan yang lainnya menyatakan, “Adapun saya, bergotong-royong saya akan pergi kepada si Fulan yang beragama Kristen di negeri Syam, kemudian saya berlindung padanya dan ikut masuk Kristen bersamanya.” Maka Allah Swt. berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Kristen menjadi “awliya” kalian….(Al-Maidah: 51). sampai beberapa ayat berikutnya.
Demikian klarifikasi Ibn Katsir untuk kita lebih memahami konteks ayat di atas.
Ini ayat senada:
Ayat 144 surat An-Nisaa di atas juga melarang kita mengambil orang non muslim sebagai “awliya”. Mari kita cek apa penafsiran Ibn Katsir terhadap makna “awliya” dalam QS al Maidah ayat 51 sama maknanya dg QS al Nisa 144:
Kata Ibn Katsir:
Kaprikornus Tafsir Ibn Katsir tidak menafsirkan kata “awliya” sebagai pemimpin baik di QS al Ma’idah ayat 51 maupun an Nisa ayat 144. Yang dimaksud yakni temenan dalam arti bersekutu dan beraliansi dengan meninggalkan orang Islam. Bukan dalam makna larangan berteman sehari-hari. Konteks al Ma’idah ayat 51 itu dikala muslim kalah dalam perang uhud. Kaprikornus ada yg termakan untuk menyeberang dengan bersekutu pada pihak yahudi dan nasrani. Itu yang dilarang.
Ibn Taimiyah mengingatkan kita:
Dengan demikian, spirit Islam yakni keadilan, dan lawannya yakni kezhaliman. Kalau ada orang yang adil (mampu berbuat adil dan menegakkan keadilan) ya kita dukung meskipun dia bukan Muslim dan Allah akan menolong orang yang adil tersebut. Kalau ada orang Muslim, yang bersikap zhalim dan melaksanakan kezhaliman, ya jangan didukung. Allah tidak akan menolong orang yang zhalim.
WALLAHU A'LAM.....
Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa kita semua serta mendapatkan amal ibadah kita semua. Amin Ya Allah, Ya Rabbal A'lamiin. Amin.
Berikut yakni suara Al-Qur'an surat al-Maaidah ayat 51
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau mengambil orang-orang Yahudi dan Kristen menjadi pemimpin (awliya) mu; sebagian mereka yakni “awliya” bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kau mengambil mereka menjadi “awliya”, maka bergotong-royong orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maaidah : 51)
Dari ayat tersebut sudah terperinci diterangkan bahwa kita tidak boleh untuk menentukan orang Yahudi dan Kristen menjadi pemimpin. Lantas, pemimpin apakah yang tidak boleh dan/atau semua kepemimpinan yang dipimpin oleh Yahudi dan Kristen tidak boleh dalam Islam? Untuk lebih jelasnya, marilah kita bahu-membahu simak ulasan berikut ini perihal QS. Al-Maidah : 51 ibarat yang dijelaskan oleh Nadirsyah Hosen dalam situs fiqhmenjawab.net
Kata “awliya” dalam QS Al-Maaidah ayat 51 yang dijadikan alasan melarang mengangkat pemimpin kafir itu layak ditelaah kembali. Terjemahan Al-Qur’an depag menerjemahkannya sebagai “pemimpin”. Konteks asbabun nuzul dan bacaan saya terhadap tafsir klasik semisal al Thabary dan Ibn Katsir tidak menawarkan kata “awliya” dalam ayat di atas bermakna pemimpin, tapi semacam sekutu atau aliansi.
Penjelasan Tafsir Ibn Katsir mengenai asbabun nuzul QS Al-Maaidah ayat 51:
“Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai penyebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat yang mulia ini. As-Saddi menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang lelaki. Salah seorang dari keduanya berkata kepada lainnya setelah Perang Uhud, “Adapun saya, bergotong-royong saya akan pergi kepada si Yahudi itu, kemudian saya berlindung padanya dan ikut masuk agama Yahudi bersamanya, barangkali ia mempunyai kegunaan bagiku kalau terjadi suatu kasus atau suatu hal.” Sedangkan yang lainnya menyatakan, “Adapun saya, bergotong-royong saya akan pergi kepada si Fulan yang beragama Kristen di negeri Syam, kemudian saya berlindung padanya dan ikut masuk Kristen bersamanya.” Maka Allah Swt. berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Kristen menjadi “awliya” kalian….(Al-Maidah: 51). sampai beberapa ayat berikutnya.
Demikian klarifikasi Ibn Katsir untuk kita lebih memahami konteks ayat di atas.
Ini ayat senada:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang kafir menjadi “awliya” dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang faktual bagi Allah (untuk menyiksa kalian)". (QS. An-Nisaa : 144)
Ayat 144 surat An-Nisaa di atas juga melarang kita mengambil orang non muslim sebagai “awliya”. Mari kita cek apa penafsiran Ibn Katsir terhadap makna “awliya” dalam QS al Maidah ayat 51 sama maknanya dg QS al Nisa 144:
Kata Ibn Katsir:
“Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai “awliya” mereka, bukannya orang-orang mukmin. Yang dimaksud dengan istilah “awliya” dalam ayat ini ialah berteman dekat dengan mereka, setia, nrimo dan merahasiakan kecintaan serta membuka diam-diam orang-orang mukmin kepada mereka.”
Kaprikornus Tafsir Ibn Katsir tidak menafsirkan kata “awliya” sebagai pemimpin baik di QS al Ma’idah ayat 51 maupun an Nisa ayat 144. Yang dimaksud yakni temenan dalam arti bersekutu dan beraliansi dengan meninggalkan orang Islam. Bukan dalam makna larangan berteman sehari-hari. Konteks al Ma’idah ayat 51 itu dikala muslim kalah dalam perang uhud. Kaprikornus ada yg termakan untuk menyeberang dengan bersekutu pada pihak yahudi dan nasrani. Itu yang dilarang.
Ibn Taimiyah mengingatkan kita:
فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَتَنَازَعُوا فِي أَنَّ عَاقِبَةَ الظُّلْمِ وَخِيمَةٌ وَعَاقِبَةُ الْعَدْلِ كَرِيمَةٌ وَلِهَذَا يُرْوَى : ” اللَّهُ يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً وَلَا يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُؤْمِنَةً
Artinya :
"Sesungguhnya Allah telah menetapkan bahwa akhir (atau efek) perilaku zhalim yakni kebinasaan dan akhir perilaku adil yakni kemuliaan. Oleh sebab itu diriwayatkan bahwa Allah akan menolong negara yang adil meski ia kafir dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski ia mukmin.”
Dengan demikian, spirit Islam yakni keadilan, dan lawannya yakni kezhaliman. Kalau ada orang yang adil (mampu berbuat adil dan menegakkan keadilan) ya kita dukung meskipun dia bukan Muslim dan Allah akan menolong orang yang adil tersebut. Kalau ada orang Muslim, yang bersikap zhalim dan melaksanakan kezhaliman, ya jangan didukung. Allah tidak akan menolong orang yang zhalim.
WALLAHU A'LAM.....
Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa kita semua serta mendapatkan amal ibadah kita semua. Amin Ya Allah, Ya Rabbal A'lamiin. Amin.
Belum ada Komentar untuk "Surat Al-Maaidah 51 : Larangan Menentukan Pemimpin Non Muslim"
Posting Komentar