Kapan Korelasi Intim Dapat Bernilai Sedekah, Ibadah Dan Ketaatan?
Blog Khusus Doa - “Hubungan intim kalian (suami-istri) ialah sedekah.” (Sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari sobat Abu Dzar). Lalu kapan hubungan intim atau seksual sanggup bernilai ibadah?
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Budh’i dalam hadits, yang dimaksud ialah jima’ atau sanggup bermakna kemaluan. Kedua makna tersebut benar. Hal ini mengatakan bahwa suatu hal yang mubah sanggup dinilai suatu ketaatan bila didasari niat yang benar.
Jima’ (bersetubuh atau hubungan intim) sanggup bernilai ibadah bila maksudnya ialah untuk menunaikan hak istri, bergaul baik dengannya, dan melaksanakan kebajikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Di samping itu, jima’ sanggup bernilai ibadah bila maksudnya untuk memperoleh keturunan yang sholeh, membentengi diri supaya tidak terjerumus dalam zina, supaya pasangan tidak memandang hal-hal yang diharamkan, juga supaya tidak berpikiran atau bermaksud yang bukan-bukan, atau niatan baik lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 83-84).
Ulama lain beropini bahwa tetap harus didasari niatan ikhlas, barulah bernilai pahala di sisi-Nya. Karena hadits di atas ialah hadits mutlaq, maka dibawa ke hadits muqoyyad yang mempersyaratkan niat. Di antara dalil yang mempersyaratkan niat, hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqosh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Juga sanggup dilihat pada firman Allah Ta’ala,
Hadits yang kita bahas kali ini, juga sanggup sebagai dalil dengan pemahaman qiyas al ‘aqs (analogi berkebalikan), bahwa bila hubungan intim dengan niatan ikhlas, itu menerima pahala. Jika tidak, maka tidak demikian. Sama halnya dengan hadits Ibnu Mas’ud, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan berbuat syirik pada Allah, maka ia masuk neraka.” Berarti sebaliknya, barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak berbuat syirik, maka ia akan masuk surga.
Jadi, niatkanlah tulus untuk raih pahala dalam setiap hubungan intim, supaya bernilai sedekah dan menuai ganjaran di sisi Allah. (Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hadits ke-25, 2: 56-70).
Semoga keluarga muslim senantiasa diberi ketenangan, kasih sayang dan rahmat. Hanya Allah yang memberi taufik.
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ »
Artinya :
“Dan hubungan intim di antara kalian ialah sedekah.” Para sobat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana sanggup mendatangi istri dengan syahwat (disetubuhi) sanggup bernilai pahala?” Ia berkata, “Bagaimana pendapatmu bila ada yang meletakkan syahwat tersebut pada yang haram (berzina) bukankah bernilai dosa? Maka sudah sepantasnya meletakkan syahwat tersebut pada yang halal mendatangkan pahala.” (HR. Muslim no. 1006).
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Budh’i dalam hadits, yang dimaksud ialah jima’ atau sanggup bermakna kemaluan. Kedua makna tersebut benar. Hal ini mengatakan bahwa suatu hal yang mubah sanggup dinilai suatu ketaatan bila didasari niat yang benar.
Jima’ (bersetubuh atau hubungan intim) sanggup bernilai ibadah bila maksudnya ialah untuk menunaikan hak istri, bergaul baik dengannya, dan melaksanakan kebajikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Di samping itu, jima’ sanggup bernilai ibadah bila maksudnya untuk memperoleh keturunan yang sholeh, membentengi diri supaya tidak terjerumus dalam zina, supaya pasangan tidak memandang hal-hal yang diharamkan, juga supaya tidak berpikiran atau bermaksud yang bukan-bukan, atau niatan baik lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 83-84).
Didasari Niat, Bukan Hanya Melampiaskan Syahwat
Jika kita lihat dari tekstual hadits yang kita bahas di atas, maka tidak dipersyaratkan niat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sekedar bersabda, “Tahukah engkau bila seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, beliau berdosa. Demikian pula bila ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia menerima pahala”. Kaprikornus sekedar menumpahkan syahwat saja bernilai pahala. Karena hubungan seksual dengan istri ialah menyerupai kita menanam benih dan nantinya kita akan menuai hasilnya.Ulama lain beropini bahwa tetap harus didasari niatan ikhlas, barulah bernilai pahala di sisi-Nya. Karena hadits di atas ialah hadits mutlaq, maka dibawa ke hadits muqoyyad yang mempersyaratkan niat. Di antara dalil yang mempersyaratkan niat, hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqosh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
Artinya :
“Tidaklah nafkah yang engkau cari untuk mengharapkan wajah Allah kecuali engkau akan diberi akibat karenanya, hingga apa yang engkau masukkan dalam lisan istrimu.” (HR. Bukhari no. 56)
Juga sanggup dilihat pada firman Allah Ta’ala,
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya :Di sini dipersyaratkan sanggup pahala bila disertai niat ikhlas.
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian sebab mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An Nisa’: 114).
Hadits yang kita bahas kali ini, juga sanggup sebagai dalil dengan pemahaman qiyas al ‘aqs (analogi berkebalikan), bahwa bila hubungan intim dengan niatan ikhlas, itu menerima pahala. Jika tidak, maka tidak demikian. Sama halnya dengan hadits Ibnu Mas’ud, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan berbuat syirik pada Allah, maka ia masuk neraka.” Berarti sebaliknya, barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak berbuat syirik, maka ia akan masuk surga.
Jadi, niatkanlah tulus untuk raih pahala dalam setiap hubungan intim, supaya bernilai sedekah dan menuai ganjaran di sisi Allah. (Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hadits ke-25, 2: 56-70).
Semoga keluarga muslim senantiasa diberi ketenangan, kasih sayang dan rahmat. Hanya Allah yang memberi taufik.
Belum ada Komentar untuk "Kapan Korelasi Intim Dapat Bernilai Sedekah, Ibadah Dan Ketaatan?"
Posting Komentar