Hukum Merekam Video Korelasi Intim Suami-Istri
Blog Khusus Doa - REKAMAN video intim beredar dimana-mana. Jangankan yang sudah menikah, perzinahan direkam dan tersebar terutama di internet. Mulai dari artis yang kemudian dipenjara dan dibebaskan dan dielu-elukan kolam pahlawan, hingga anggota dewan perwakilan rakyat yang katanya terhormat.
Bagaimana dengan suami-istri berdasarkan Islam? Bolehkah merekam adegan yang sangat eksklusif itu?
Masalah ini terus ramai menjadi pembicaraan, sementara bala’ dari perbuatan tersebut telah menimpa mereka, mulai dari belum dewasa hingga orang tua.
Islam telah menetapkan bahwa hubungan tubuh hanya boleh dilakukan antara seorang pria dengan isteri dan budaknya (lihat QS al-Muminun [24]: 5-7). Selain itu, syara’ juga telah menetapkan batas-batas aurat yang harus dijaga kecuali di antara mereka. Bagi suami-istri, masing-masing diperbolehkan melihat seluruh penggalan tubuh pasangannya. Bahz ibn Hakîm telah meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, kakeknya berkata:
Mesikupun demikian, Islam mengharamkan menceritakan aurat pasangannya dan ihwal hubungan tubuh itu kepada orang lain. Dalam Hadits riwayat Muslim, Nabi saw bersabda:
Keharaman menceritakan tersebut termasuk keharaman suami yang memiliki dua istri atau lebih, yakni hubungan tubuh suami-istri dengan istri satu disampaikan kepada istri yang lain.
Berdasarkan nas-nas di atas, maka keharaman aturan menceritakan tersebut termasuk keharaman merekam adegan ranjang untuk disebarkan, biar sanggup ditonton orang lain. Dengan keras Nabi saw. menggambarkan mereka menyerupai setan:
Adapun merekam adegan hubungan tubuh menyerupai itu untuk keperluan sendiri, termasuk perbuatan sia-sia dan tidak ada gunanya, yang sebaiknya ditinggalkan:
Lebih dari itu, kalau hasil rekaman tersebut kemudian disimpan, maka sanggup menjadi wasilah yang mengantarkan kepada perbuatan haram. Sebab, siapa yang sanggup menjamin rekaman itu tidak jatuh kepada orang lain? Dalam hal ini, sanggup diterapkan kaidah syara’:
“Sarana yang sanggup mengantarkan kepada keharaman, maka hukumnya jelas-jelas diharamkan.”
Adapun aturan memberitakan dan memperbincangkan bencana menyerupai ini juga diharamkan, alasannya termasuk berbagi perbuatan maksiat. Nabi SAW dengan tegas menyatakan:
Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang menampak-nampakkannya dan sebenarnya di antara bentuk menampak-nampakkan (dosa) ialah seorang hamba yang melaksanakan perbuatan pada waktu malam, sementara Allah telah menutupinya, kemudian pada waktu pagi dia berkata, “Wahai fulan, semalam saya telah melaksanakan ini dan itu.” Padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah (Muttafaq ‘alayh).
Karena itu, hendaknya seorang Muslim menjaga lisannya dari membicarakan perbuatan maksiat orang-orang menyerupai mereka (mujahirin), bukan untuk menutup malu mereka, tetapi biar tidak terlibat dalam berbagi perbuatan keji maksiat mereka di tengah-tengah orang Mukmin. Juga termasuk menjaga verbal dan pikiran dari perkara-perkara yang sia-sia, kecuali untuk menjelaskan hukumnya, biar umat tidak melaksanakan kemaksiatan serupa.
Karena seluruh perbuatan di atas diharamkan, maka men-download, mengkopi dan menyebarkannya–meski yang disebarkan ialah madaniyyah (produk materi/bukan pemikiran), tetapi alasannya madaniyyah ini terkait dengan hadharah kapitalis , dan isinya diharamkan oleh Islam–jelas hukumnya haram. Wallâhu a’lam. (sumber: Islampost)
Bagaimana dengan suami-istri berdasarkan Islam? Bolehkah merekam adegan yang sangat eksklusif itu?
Masalah ini terus ramai menjadi pembicaraan, sementara bala’ dari perbuatan tersebut telah menimpa mereka, mulai dari belum dewasa hingga orang tua.
Islam telah menetapkan bahwa hubungan tubuh hanya boleh dilakukan antara seorang pria dengan isteri dan budaknya (lihat QS al-Muminun [24]: 5-7). Selain itu, syara’ juga telah menetapkan batas-batas aurat yang harus dijaga kecuali di antara mereka. Bagi suami-istri, masing-masing diperbolehkan melihat seluruh penggalan tubuh pasangannya. Bahz ibn Hakîm telah meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, kakeknya berkata:
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah SAW, manakah penggalan aurat kami yang harus kami tutupi dan mana yang boleh kami biarkan?” kemudian Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “Jagalah auratmu, kecuali dari istrimu atau hamba sahaya perempuanmu.” (HR Abu Dawud).
Mesikupun demikian, Islam mengharamkan menceritakan aurat pasangannya dan ihwal hubungan tubuh itu kepada orang lain. Dalam Hadits riwayat Muslim, Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya insan yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada Hari Kiamat ialah seseorang yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian suami berbagi belakang layar istrinya,” (HR Muslim dari Abi Said al-Khudri).
Keharaman menceritakan tersebut termasuk keharaman suami yang memiliki dua istri atau lebih, yakni hubungan tubuh suami-istri dengan istri satu disampaikan kepada istri yang lain.
Berdasarkan nas-nas di atas, maka keharaman aturan menceritakan tersebut termasuk keharaman merekam adegan ranjang untuk disebarkan, biar sanggup ditonton orang lain. Dengan keras Nabi saw. menggambarkan mereka menyerupai setan:
“Tahukah apa permisalan menyerupai itu?” Kemudian dia berkata, “Sesungguhnya permisalan hal tersebut ialah menyerupai setan perempuan yang bertemu dengan setan pria di sebuah gang, kemudian setan pria tersebut menunaikan hajatnya (bersetubuh) dengan setan perempuan, sementara orang-orang melihat kepadanya.” (HR Abu Dawud).
Adapun merekam adegan hubungan tubuh menyerupai itu untuk keperluan sendiri, termasuk perbuatan sia-sia dan tidak ada gunanya, yang sebaiknya ditinggalkan:
“Tanda dari baiknya keIslaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.” (Hr Ibn Majah).
Lebih dari itu, kalau hasil rekaman tersebut kemudian disimpan, maka sanggup menjadi wasilah yang mengantarkan kepada perbuatan haram. Sebab, siapa yang sanggup menjamin rekaman itu tidak jatuh kepada orang lain? Dalam hal ini, sanggup diterapkan kaidah syara’:
“Sarana yang sanggup mengantarkan kepada keharaman, maka hukumnya jelas-jelas diharamkan.”
Adapun aturan memberitakan dan memperbincangkan bencana menyerupai ini juga diharamkan, alasannya termasuk berbagi perbuatan maksiat. Nabi SAW dengan tegas menyatakan:
Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang menampak-nampakkannya dan sebenarnya di antara bentuk menampak-nampakkan (dosa) ialah seorang hamba yang melaksanakan perbuatan pada waktu malam, sementara Allah telah menutupinya, kemudian pada waktu pagi dia berkata, “Wahai fulan, semalam saya telah melaksanakan ini dan itu.” Padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah (Muttafaq ‘alayh).
Karena itu, hendaknya seorang Muslim menjaga lisannya dari membicarakan perbuatan maksiat orang-orang menyerupai mereka (mujahirin), bukan untuk menutup malu mereka, tetapi biar tidak terlibat dalam berbagi perbuatan keji maksiat mereka di tengah-tengah orang Mukmin. Juga termasuk menjaga verbal dan pikiran dari perkara-perkara yang sia-sia, kecuali untuk menjelaskan hukumnya, biar umat tidak melaksanakan kemaksiatan serupa.
Karena seluruh perbuatan di atas diharamkan, maka men-download, mengkopi dan menyebarkannya–meski yang disebarkan ialah madaniyyah (produk materi/bukan pemikiran), tetapi alasannya madaniyyah ini terkait dengan hadharah kapitalis , dan isinya diharamkan oleh Islam–jelas hukumnya haram. Wallâhu a’lam. (sumber: Islampost)
Belum ada Komentar untuk "Hukum Merekam Video Korelasi Intim Suami-Istri"
Posting Komentar