Ketika Suami Istri Berjima' Menjadi Wajib, Sunnah, Makruh Dan Haram
Blog Khusus Doa - Islam sudah mengatur segala sesuatu di dunia ini dengan dosis yang pas. Termasuk juga soal kekerabatan suami istri. Dalam Islam, kekerabatan yang sangat eksklusif sanggup menjadi perbuatan wajib, sunnah, mubah, maupun haram. Ketika bagaimana?
Menjadi wajib apabila seorang suami atau istri sedang mengalami kondisi menginginkan yang memuncak. Dikhawatirkan padanya kalau tidak melaksanakan kekerabatan seksual dengan pasangan halalnya akan jatuh pada perbuatan maksiat / zina. Maka dikala suami mengajak istrinya berhubungan, istri diharuskan memenuhinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Seharusnya yang dialkukan istri yakni memenuhi usul suaminya dikala dirinya diajak bekerjasama suami istri.
Berkata al-Imam Syaukani rahimahullah, wacana hadits diatas: “Kalau dalam keadaan menyerupai itu saja dihentikan seorang istri menyelisihi suami, dihentikan tidak memenuhi usul suami sedangkan ia dalam keadaan menyerupai itu, maka bagaimana dibolehkan untuk menyelisihi suami selain dari kondisi itu.” (Silahkan Lihat Nailul Authaar:269/231)
Menjadi Sunnah secara umum dikala rutin melalukan diniatkan mencapai beberapa tujuan utama dari dari berhubunga antara lain:
Dihukumi makruh dikala melaksanakan kekerabatan seksual di dalam kamar mandi. Makruh juga hukumnya menceritakan detail proses kekerabatan intim yang dilakukan suami istri kepada orang lain tanpa kepentingan yang besar di dalamnya.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:”Dan dalam hadits ini (”Sesungguhnya yang termasuk insan paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari tamat zaman yakni seorang pria yang menggauli istrinya lalau ia menceritakan rahasianya (jima’ tersebut)”(HR Muslim) ) ada pengharaman bagi seorang pria menyebarluaskan apa yang terjadi antara ia dengan istrinya berupa jima’, dan menceritakan secara detail hal itu dan apa yang terjadi dengan perempuan pada bencana itu (jima’) berupa ucapan (desahan) maupun perbuatan dan yang lainnya. Adapun sekedar menyebutkan kata jima’, apabila tidak ada faidah dan keperluan di dalamnya maka hal itu makruh alasannya yakni bertentangan dengan muru’ah (kehormatan diri)
Menjadi haram atau berdosa dikala istri sedang haid, suami memaksa melaksanakan hubungan. Atau dikala istri sedang nifas termasuk melaksanakan kekerabatan seksual di dubur (anal seks).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum muslimin setuju akan haramnya menyetubuhi perempuan haid berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih” (Al Majmu’, 2: 359). Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Menyetubuhi perempuan nifas yakni sebagaimana perempuan haid yaitu haram berdasarkan akad para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 624)
Dalam hadits disebutkan,
Al Muhamili dalam Al Majmu’ (2: 359) menyebutkan bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menyetubuhi perempuan haid, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar.” (Source: Islam Post)
Menjadi wajib apabila seorang suami atau istri sedang mengalami kondisi menginginkan yang memuncak. Dikhawatirkan padanya kalau tidak melaksanakan kekerabatan seksual dengan pasangan halalnya akan jatuh pada perbuatan maksiat / zina. Maka dikala suami mengajak istrinya berhubungan, istri diharuskan memenuhinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Artinya :
“Apabila seorang pria mengajak istrinya ke ranjangnya, kemudian istri tidak mendatanginya, sampai ia (suaminya –ed) bermalam dalam keadaan murka kepadanya, maka malaikat melaknatnya sampai pagi tiba.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seharusnya yang dialkukan istri yakni memenuhi usul suaminya dikala dirinya diajak bekerjasama suami istri.
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ ، وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ
Artinya :
“Jika seorang pria mengajak istrinya untuk menyalurkan hajatnya, maka hendaklah ia mendatangi suaminya, meskipun ia sedang berada di tungku perapian.” (HR. Ibnu Syaibah, at-Tirmidzi, ath-Thabarani dan berkata at-Tirmidzi Hadits Hasan Gharib, dan dishahihkan Ibnu Hibban no 4165)
Berkata al-Imam Syaukani rahimahullah, wacana hadits diatas: “Kalau dalam keadaan menyerupai itu saja dihentikan seorang istri menyelisihi suami, dihentikan tidak memenuhi usul suami sedangkan ia dalam keadaan menyerupai itu, maka bagaimana dibolehkan untuk menyelisihi suami selain dari kondisi itu.” (Silahkan Lihat Nailul Authaar:269/231)
Menjadi Sunnah secara umum dikala rutin melalukan diniatkan mencapai beberapa tujuan utama dari dari berhubunga antara lain:
- Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan berdasarkan takdir Allah
- Mengeluarkan air yang sanggup mengganggu kesehatan tubuh jikalau ditahan terus
- Mencapai maksud dan mencicipi kenikmatan, sebagaimana kelak di surga
- Menundukkan pandangan, menahan nafsu,
- Menguatkan jiwa dan biar tidak berbuat serong bagi kedua pasangan
Dihukumi makruh dikala melaksanakan kekerabatan seksual di dalam kamar mandi. Makruh juga hukumnya menceritakan detail proses kekerabatan intim yang dilakukan suami istri kepada orang lain tanpa kepentingan yang besar di dalamnya.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:”Dan dalam hadits ini (”Sesungguhnya yang termasuk insan paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari tamat zaman yakni seorang pria yang menggauli istrinya lalau ia menceritakan rahasianya (jima’ tersebut)”(HR Muslim) ) ada pengharaman bagi seorang pria menyebarluaskan apa yang terjadi antara ia dengan istrinya berupa jima’, dan menceritakan secara detail hal itu dan apa yang terjadi dengan perempuan pada bencana itu (jima’) berupa ucapan (desahan) maupun perbuatan dan yang lainnya. Adapun sekedar menyebutkan kata jima’, apabila tidak ada faidah dan keperluan di dalamnya maka hal itu makruh alasannya yakni bertentangan dengan muru’ah (kehormatan diri)
Menjadi haram atau berdosa dikala istri sedang haid, suami memaksa melaksanakan hubungan. Atau dikala istri sedang nifas termasuk melaksanakan kekerabatan seksual di dubur (anal seks).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum muslimin setuju akan haramnya menyetubuhi perempuan haid berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih” (Al Majmu’, 2: 359). Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Menyetubuhi perempuan nifas yakni sebagaimana perempuan haid yaitu haram berdasarkan akad para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 624)
Dalam hadits disebutkan,
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم
Artinya :
“Barangsiapa yang menyetubuhi perempuan haid atau menyetubuhi perempuan di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani menyampaikan bahwa hadits ini shahih).
Al Muhamili dalam Al Majmu’ (2: 359) menyebutkan bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menyetubuhi perempuan haid, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar.” (Source: Islam Post)
Belum ada Komentar untuk "Ketika Suami Istri Berjima' Menjadi Wajib, Sunnah, Makruh Dan Haram"
Posting Komentar